Minggu, 14 April 2013

BERDOA BAGI SUKU SUKU DI INDONESIA YANG BELUM MENGENAL INJIL BAGIAN 3


Ampanang, Indonesia

Siapakah Orang-Orang Ampanang Itu?
Masyarakat Ampanang tinggal di Kalimantan Tengah bagian timur, tepatnya di sebelah tenggara kota Tunjung. Daerah itu tidak jauh dari kota Jambu dan Lamper. Kalimantan, yang berarti "Sungai Intan", merupakan pulau yang dikelola oleh tiga negara: Indonesia yang mengelola dua per tiga bagiannya, serta Malaysia dan Brunei yang mengelola sepertiga bagian lainnya. Orang-orang Ampanang adalah salah satu kelompok masyarakat keturunan Barito. Mereka adalah bagian dari kesatuan etno-linguistik Dayak yang lebih besar. Orang-orang Dayak lebih suka tinggal di sepanjang sungai-sungai pedalaman di Kalimantan. Terkadang pengelompokan mereka dibagi-bagi lagi menjadi Dayak Daratan maupun Dayak Laut, meskipun pada mulanya ini adalah sebutan orang Eropa untuk membedakan berbagai kelompok yang ada di sana. Orang-orang Dayak biasanya memiliki ciri-ciri:
  1. Mendapat warisan, baik dari pihak ayah ataupun ibu.
  2. Tinggal bersama atau di dekat kerabat istri.
  3. Berkelompok-kelompok per desa.
  4. Tidak adanya kelas sosial/kasta (meski perbudakan masih dipraktikkan oleh beberapa kelompok).
  5. Tinggal bersama sebagai keluarga besar (di sebuah rumah panjang).
  6. Melakukan ritual penguburan sekunder, yaitu penguburan di makam yang sudah ada sebelumnya.
Suku-suku Dayak diperkirakan datang dari Asia Barat sebagai imigran dari Mongolia yang masuk ke kepulauan Nusantara lewat kota pesisir Kalimantan bagian selatan, yang sekarang disebut Martapura.
Seperti Apakah Kehidupan Mereka?
Mata pencaharian utama masyarakat Ampanang mencakup berburu, mengumpulkan produk-produk hutan, mencari ikan, bertani, dan berdagang. Meski sebagian besar orang Ampanang tinggal di dekat sungai, namun ada juga yang tinggal di daerah yang jauh dari sungai. Kebudayaan orang-orang Ampanang dikaitkan dengan keyakinan mereka terhadap roh-roh gaib. Tambahan pula, kesenian dan berbagai aktivitas lain disatukan menjadi sistem kepercayaan mereka. Masyarakat Ampanang pun menjunjung tinggi berbagai macam upacara tradisional. Upacara-upacara tersebut meliputi perjodohan dan pertunangan, pernikahan, kehamilan, kelahiran, penyembuhan dari sakit, dan penguburan. Upacara-upacara ritual juga sering dijalankan selama masa perayaan hari-hari penting mereka.
Apa Yang Mereka Percayai?
Secara umum orang-orang Ampanang menjadi pengikut kepercayaan tradisional Dayak, yang disebut Kaharingan. Bahkan, beberapa dari mereka juga menjadi pengikut kepercayaan Nyuli. Fokus ajaran Nyuli adalah adanya kebangkitan setelah kematian (Suli). Menurut ajaran Nyuli, Bukit Lumut melepaskan arwah. Arwah tersebut kemudian kembali ke desa mereka dengan membawa sesuatu dari dunia baka yang dapat dipakai untuk memperbaiki kondisi dunia. Orang-orang Ampanang juga memuja arwah-arwah nenek moyang mereka (duwata). Setiap keluarga Ampanang memunyai tempat pemujaan untuk duwata mereka sendiri di rumah. Tempat pemujaan tersebut biasanya disebut kunau. Mereka juga menggunakan "pangantuhu" -- tulang manusia -- sebagai alat untuk memanggil arwah nenek moyang.
Apa Saja Kebutuhan Mereka?
Akhir-akhir ini, ada perubahan signifikan dalam hidup, tradisi, pandangan dunia, dan sistem komunitas masyarakat Ampanang. Hal ini terjadi dalam hubungannya dengan mobilitas dan hubungan mereka yang lebih besar dengan dunia luar, serta keterbukaan mereka terhadap para pendatang. Masyarakat Ampanang membutuhkan pendidikan formal dan pengembangan keterampilan untuk menghadapi perubahan yang sedang mereka alami. Pendidikan dan pengembangan keterampilan yang cukup dapat membantu mereka bangkit dari kemiskinan. Peningkatan kesehatan juga masih sangat diperlukan. (t/Setya)
Diterjemahkan dari:
Nama situs:Joshua Project
Judul asli artikel:Ampanang of Indonesia
Penulis:Tidak dicantumkan
Alamat URL:http://www.joshuaproject.net/
Tanggal akses:24 Januari 2011

Asahan Di Indonesia

Siapakah Suku Asahan?
Orang-orang Asahan (disebut juga orang-orang Batubara) berbicara dalam bahasa Asahan, bahasa yang merupakan cabang dari rumpun bahasa Melayu. Mereka tinggal di pesisir timur provinsi Sumatera Utara, tepatnya di wilayah Batubara serta wilayah Asahan dan Labuhan Baru dan perkotaan Tanjung Balai. Nenek moyang orang Asahan dipercaya berasal dari Pagaruyung di Sumatera Barat. Teori migrasi ini terbukti dari kemiripan nama-nama geografis yang terdapat di wilayah Asahan dengan nama-nama di Sumatera Barat, seperti penggunaan umum istilah Talawi, Tanah Datar, dan Pesisir. Tampaknya, orang Asahan merupakan keturunan dari pernikahan antara orang Minangkabau dan orang Batak (Simalungun, Angkola, dan Mandailing).
Seperti Apa Kehidupan Mereka?
Pola pedesaan orang-orang Asahan mirip dengan pola pedesaan orang-orang Melayu di Sumatera. Pedesaan Asahan biasanya terletak di sepanjang sungai atau pesisir. Setiap desa memiliki bangunan-bangunan ibadah di desa seperti masjid atau rumah doa. Pedesaan-pedesaan tersebut dipimpin oleh penatua desa, yang disebut "pawing". Mereka memiliki otoritas untuk menyelesaikan pertengkaran-pertengkaran tentang pertanian atau perikanan.
Rumah-rumah orang Asahan dibangun di panggung yang menggunakan penyangga kayu yang tingginya sekitar 2 meter. Rancangan ini menjaga rumah-rumah dari banjir dan serangan binatang-binatang liar.
Orang-orang Asahan mencari nafkah dengan bermacam-macam cara. Sebagian besar orang Asahan bermatapencaharian nelayan. Wilayah itu sangat terkenal karena perairan yang kaya ikan. Kota Tanjung Balai memunyai nama panggilan "Kota Tiram" karena terdapat sangat banyak tiram di kota ini. Beberapa orang Asahan juga bekerja sebagai petani. Hasil utama mereka berupa beras, karet, dan minyak kelapa. Sedangkan penduduk yang lain mendapatkan penghasilan hidup dari menenun kain, yang dikenal sebagai kain songket. Kain ini merupakan kain tenunan tangan yang diselang-selingi dengan benang perak atau emas. Fungsi utama kain ini adalah untuk digunakan dalam acara-acara khusus. Hijau dan biru gelap adalah warna-warna yang dominan dipakai.
Tidak seperti rumpun-rumpun orang Melayu lainnya, garis keturunan Asahan diambil dari pihak ibu (matrilineal). Hal ini disebabkan oleh pengaruh kuat dari kebudayaan Minangkabau. Akan tetapi, nama keluarga diambil dari pihak laki-laki (patrilineal). Salah satu contoh keluarga patrilineal adalah Bandar Ahmat. Setelah pernikahan, pasangan yang baru menikah hidup dekat dengan keluarga wanita (matrilokal). Setelah mereka memunyai satu atau dua anak, mereka biasanya pindah ke rumah baru dekat dengan keluarga laki-laki (patrilokal) atau ke daerah yang benar-benar baru (neolokal).
Apa Kepercayaan Mereka?
Orang-orang Asahan merupakan orang-orang Islam. Mereka hidup berdasarkan pola pengajaran agama mereka. Seperti banyak suku Indonesia lainnya, terdapat pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan animistik tradisional mereka. Mereka percaya bahwa kepercayaan-kepercayaan Islam lahir dari nilai-nilai kebudayaan mereka, nilai-nilai yang berfokus untuk mewujudkan kehidupan bersama yang teratur, harmonis, dan saling menghargai.
Apa Kebutuhan Mereka?
Warga Asahan masih memerlukan bantuan untuk membangun wilayah mereka. Mereka perlu diperkenalkan dengan teknologi yang tepat untuk membantu meningkatkan produktivitas. Mereka masih memiliki sedikit kesempatan untuk memperluas, untuk meragamkan jenis-jenis pekerjaan mereka, serta untuk mengembangkan keahlian-keahlian baru. Pelayanan listrik dan persediaan-persediaan air bersih akan sangat mempermudah perkembangan di wilayah mereka. (t\Uly)
Diterjemahkan dari:
Judul asli artikel:Asahan, Malay of Indonesia
Nama situs:Joshua Project
Penulis:Tidak dicantumkan
Alamat URL:http://www.joshuaproject.net

Asilulu dari Indonesia

SIAPAKAH ORANG ASILULU?
Orang-orang Asilulu tinggal di pulau Ambon, tepatnya di pedesaan Asilulu dan Ureng, di wilayah Leihitu, kabupaten Maluku Tengah, provinsi Maluku. Pada tahun 1999, sebagian wilayah Provinsi Maluku dimekarkan menjadi Provinsi Maluku Utara. Daerah Asilulu dapat dijangkau baik dengan transportasi darat maupun laut. Transportasi umum ke kota Ambon tersedia beberapa kali sehari.
Pulau Maluku, yang menurut sejarah disebut "Kepulauan Rempah-Rempah", merupakan rangkaian dari lebih dari seribu pulau yang tersebar di bagian timur Indonesia. Kepulauan ini meliputi sebagian besar pulau antara Sulawesi dan Papua Nugini serta antara Timor dan Filipina.
Bahasa Asilulu merupakan salah satu bahasa asli kepulauan Ambon. Bahasa ini dipakai oleh orang-orang yang tinggal di pesisir barat. Orang-orang di pedesaan Negri Lima berbicara dengan bahasa yang mirip, namun bahasa mereka berbeda dan terkadang dikenal dengan istilah Henalima.
Menurut sejarah, Bahasa Asilulu merupakan bahasa perdagangan untuk wilayah ini. Bahkan saat ini, tidak mengherankan jika bertemu orang yang berasal dari pulau di sekitar daerah itu, seperti Seram, yang dapat berbicara dalam bahasa Asilulu.
SEPERTI APA KEHIDUPAN MEREKA?
Menangkap ikan merupakan mata pencaharian utama bagi orang-orang Asilulu. Karena padi jarang tumbuh di daerah tersebut, hasil pertanian mereka biasanya berupa cengkeh dan pala. Para nelayan tidak mengetahui ritual-ritual tradisional khusus, walaupun komunitas mereka biasanya mendasari semua aktivitas dan pekerjaan dalam doa menurut pengakuan atau kepercayaan setiap individu.
Sebelum pergi melaut, para nelayan berdoa kepada Tuhan untuk meminta berkat dan perlindungan. Ikan hasil tangkapan dipakai untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dan selebihnya dijual. Beberapa jenis ikan yang biasa ditangkap seperti cakalang, tenggiri, momar, silapa, lalosi, dan kawalinya.
Dari desa Luhu, Iha-Kulur, dan Asilulu, kebanyakan ikan hasil tangkapan mereka dijual ke Hitu dan Ambon. Para nelayan menggunakan berbagai macam metode untuk menangkap ikan, seperti jaring (rorahi), menebarkan jala, dan perangkap ikan dari rotan. Ketika mereka melaut menggunakan jala atau jaring (pukat, mereka dapat melakukannya dengan berkelompok. Pemimpin kelompok itu disebut "tanase", sementara pengikut-pengikutnya disebut "masnait". Mereka dapat menangkap momar, kawalinya, make, julung-julung dan tuing-tuing (ikan terbang) dengan jala atau perangkap ikan. Orang Asilulu memancing sendiri jika menggunakan perangap ikan dari rotan. Ikan batu-batu biasanya ditangkap dengan teknik memancing yang satu ini.
APA KEPERCAYAAN MEREKA?
Sebagai orang Muslim, mereka percaya bahwa mereka akan dihakimi berdasarkan pengetahuan mereka tentang Al-quran serta apa yang mereka perbuat dalam kehidupan mereka. Orang-orang Asilulu telah melebur agama Islam ke dalam praktik kepercayaan tradisional setempat. Mereka mencampuradukkan praktik-praktik kebudayaan tradisional dengan pengajaran-pengajaran Islam ke dalam berbagai acara mereka, seperti pernikahan, sunatan, upacara kerajaan, dan pembangunan mesjid.
APA KEBUTUHAN MEREKA?
Untuk memasarkan hasil produksi mereka ke perkotaan Ambon dan Hitu, orang-orang Asilulu memerlukan transportasi yang nyaman. Transportasi yang memuaskan ini akan menjaga ikan tetap segar ketika sampai ke kota. Saat ini, infrastruktur transportasi sangatlah terbatas.
Akhir-akhir ini, para pengadu domba dari luar memicu lingkaran kekerasan yang berbahaya dan pembalasan dendam di antara kelompok Ambon. Pulau yang terpisah-pisah ini membutuhkan kedamaian, peraturan, dan pemulihan.(t\Uly)
Diterjemahkan dari:
Judul asli artikel:Asilulu of Indonesia
Nama situs:Joshua Project
Penulis:Tidak dicantumkan
Alamat URL:http://www.joshuaproject.net/

Orang Aikwakai, Sikaritai di Indonesia

Orang-orang Sikaritai bertempat tinggal di Papua, provinsi paling timur di Indonesia. Bahasa mereka disebut bahasa Sikaritai. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa percakapan oleh sebagian pengguna bahasa lain. Orang-orang Sikaritai tinggal di empat pedesaan kecil sekitar sungai Idenburg dan Rouffaer yang mengalir ke sungai Mamberamo dan berjarak 250 km dari sebelah barat kota Jayapura. Sebagian besar daerah mereka cukup datar dan berawa.
Orang Sikaritai mencari nafkah dengan berburu dan mengumpulkan bahan makanan di hutan, menanam sayuran di kebun, dan menangkap ikan di sungai. Mereka biasanya memakai air sungai untuk minum dan mencuci. Daerah Sikaritai tidak terjangkau oleh listrik dan telepon. Alat transportasi utama mereka adalah perahu di sepanjang sungai-sungai yang berkelok-kelok atau berjalan kaki. Mereka membangun rumah dari bahan-bahan yang mereka peroleh dari hutan.
Sebagian besar anak-anak hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar karena tidak ada pendidikan yang lebih lanjut di daerah mereka. Orang-orang Sikaritai terkadang menikah dengan orang dari kelompok bahasa lain. Poligami masih umum terjadi di antara orang-orang Sikaritai. Banyak orang memunyai dua atau tiga istri.
Agama mayoritas orang Sikaritai adalah Kristen. Gereja telah cukup mapan di wilayah itu, tetapi di sana masih terdapat pengaruh kuat dari agama tradisional. Hanya ada segelintir orang Sikaritai yang menerima pelatihan untuk menjadi pendeta atau penginjil di antara kaum sesuku mereka. Saat ini orang Sikaritai tidak memunyai Alkitab dalam bahasa mereka, namun baru-baru ini ada tim penerjemah yang ditugaskan untuk bekerja di antara mereka.
Orang-orang Sikaritai sangat membutuhkan pengembangan masyarakat. Pada dasarnya mereka tidak mempunyai perawatan kesehatan dan sumber air yang bersih. Tingkat pendidikan dan melek huruf orang dewasa sangat rendah. Gereja juga butuh dikuatkan karena pengaruh agama tradisional masih kuat dan poligami cukup lazim di daerah tersebut. (t\Uly)
Diterjemahkan dari:
Judul asli artikel:Aikwakai, Sikaritai of Indonesia
Nama situs:Joshua Project
Penulis:Tidak dicantumkan
Alamat URL:http://www.joshuaproject.net/

Alas, Indonesia

SIAPAKAH SUKU ALAS?
Orang-orang Alas merupakan salah satu rumpun masyarakat yang terletak di wilayah Aceh Tenggara, provinsi Aceh. Wilayah Alas dilalui banyak sungai, termasuk Lawe Alas (Sungai Alas). Mereka tinggal di daerah yang disebut "Tanah Orang Alas". Kata "alas" berarti "tikar yang digunakan untuk duduk atau tidur". Walaupun bahasa dan nama keluarga suku Alas memiliki kesamaan dengan suku Batak, asal usul Alas masih merupakan sebuah misteri. Menurut cerita tradisional, ada sejumlah orang Batak yang menyembah berhala dari tanah Toba pergi ke dataran tinggi di bawah pimpinan kepala suku mereka, Alas. Tradisi dan budaya yang telah lama dipelihara kelompok etnis ini terkadang disamakan dengan Gayo. Selama masa pemerintahan Belanda, struktur pemerintahan menganggap dua wilayah ini sebagai satu bagian (Tanah Gayo dan Alas). Akan tetapi, orang-orang Alas adalah kelompok orang-orang yang unik yang memunyai budaya dan bahasa sendiri yang berbeda dari kebudayaan dan bahasa Gayo. Sejak 1974, wilayah-wilayah Alas dan Gayo telah digolongkan dalam daerah Aceh Tenggara.
SEPERTI APA KEHIDUPAN MEREKA?
Sebagian besar orang-orang Alas tinggal di wilayah pedesaan. Mereka mencari nafkah dengan berkebun dan memelihara ternak. Wilayah Alas dianggap sebagai lumbung padi di wilayah Aceh. Hasil-hasil pertanian lainnya adalah karet, kopi, dan kemiri (bumbu lokal) serta juga hasil-hasil perhutanan lainnya seperti kayu, rotan, getah dan kemenyan.
Lingkungan atau pedesaan-pedesaan Alas disebut "kute". Satu kute biasanya terdiri dari satu klan atau lebih yang disebut "merge". Keluarga-keluarga besar biasanya akan hidup dalam satu rumah dan tunduk kepada otoritas orang tua. Mereka adalah masyarakat patrilineal, yang berarti mereka menarik garis keturunan dari pihak ayah.
Kebudayaan mereka menekankan dua jenis hukum. Yang pertama terdiri dari hukum agama yang diberikan Allah dan tidak dapat diubah. Yang kedua terdiri dari hukum-hukum tradisional yang dibuat oleh para pemimpin komuitas dan dapat diubah sesuai dengan waktunya. Menurut adat pernikahan, pertunangan berlangsung dari 1 sampai 3 tahun karena sang pria perlu mengumpulkan mas kawin untuk sang wanita. Ketika sepasang pria dan wanita Alas menikah, mereka tinggal dekat dengan keluarga sang suami. Setelah mereka memunyai anak-anak, keluarga muda tersebut biasanya akan pindah dan tinggal terpisah (jawe) dari orang tua, tetapi mereka tetap tinggal di wilayah yang sama. Pernikahan secara poligami diperbolehkan ketika pasangan suami istri hanya memiliki 1 orang anak atau tidak memiliki anak sama sekali ("adak meu keu dueu").
APA KEPERCAYAAN MEREKA?
Biasanya, orang-orang Alas adalah penganut Islam, tetapi mereka masih mencari bantuan dari dukun. Mereka mengadakan ritual-ritual agar hasil panen mereka besar dan agar hasil panen mereka dilindungi dari hama. Dukun membaca mantranya dan menggunakan ramuan obat ajaib dari dedaunan dan bunga-bunga yang dianggap kuat untuk melawan hama.
APA KEBUTUHAN MEREKA?
Orang Alas sangat memerlukan perkembangan dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Aceh Tenggara memunyai potensi besar untuk pariwisata, pertanian ,dan pertambangan, tetapi potensi besar ini belum dimanfaatkan. Modal dan investasi finansial (baik dari dalam maupun luar negeri) dari potensi-potensi yang dikembangkan ini akan sangat membantu perkembangan dan kemakmuran orang-orang Alas. (t\Uly)
Diterjemahkan dari:
Judul asli artikel:Alas of Indonesia
Nama situs:Joshua Project
Penulis:Tidak dicantumkan
Alamat URL:http://www.joshuaproject.net/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar